“Orang
yang kuat itu bukan orang yang (tak terkalahkan) saat berkelahi, akan tetapi
orang yang kuat adalah mereka yang dapat mengendalikan dirinya saat emosi.” (Riwayat Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
Kekuatan selalu kita ukur secara fisik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan menolak ukuran secara fisik, tapi ada dimensi lain yang sering dilupakan sebagian manusia, yaitu dimensi “rasa”. Justru pada dimensi itulah terletak keberadaan manusia yang sebenarnya.
Kekuatan selalu kita ukur secara fisik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan menolak ukuran secara fisik, tapi ada dimensi lain yang sering dilupakan sebagian manusia, yaitu dimensi “rasa”. Justru pada dimensi itulah terletak keberadaan manusia yang sebenarnya.
Orang yang kuat, menurut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang bisa mengendalikan dirinya saat hatinya bergejolak marah. Pada saat seperti itu, ia mampu menahannya dengan kesabarannya dan mengalahkannya dengan keteguhan hatinya. Ia tidak membiarkan jiwanya terlepas liar bersama dengan letupan api kemarahannya, yang kemudian dengan seenaknya mengeluarkan caci mak, kata-kata murka, dan omong kotor lainnya. Ia tetap dapat mengendalikan kata-kata yang keluar dari mulutnya agar tetap normal, rasional dan proposional.
Marah adalah
watak yang tersembunyi pada diri setiap manusia yang sewaktu-waktu dapat
terpancing oleh allergen (pemicu alergi) yang selalu ada di sekitar
kita. Orang yang sehat hatinya tidak mudah terpengaruh oleh pemicu tersebut,
akan tetapi orang yang sudah terjangkiti penyakit “asma”, pemicu di sekitarnya
dapat mengubahnya menjadi sesak nafas, bahkan tersumbat saluran pernafasannya.
Begitulah gambaran orang yang tidak dapat mengendalikan nafsu maranhnya. Ia
mudah tersulut, terprovokasi dan terpancing oleh hal-hal yang semestinya tidak
perlu sampai membangkitkan amarahnya.
Kita harus mampu
memblokir semua jalan keinginan nafsu yang menghancurkan itu. Kita harus
membentuk tentara yang kuat dan perkasa untuk mengendalikan nafsu yang
menjatuhkan kehormatan diri dan kemanusiaan kita.
Betapa banyak
orang yang jatuh kehormatannya hanya gara-gara tidak mampu menahan
kehormantannya? Seorang akademisi tidak lagi bicara ilmiah jika sedang marah.
Seorang ustadz tak lagi berkata santun saat marah. Seorang ibu tak lagi berkata
lembut kepada anaknya saat marah. Seorang ayah berkata dengan tindakan kasarnya
saat marah. Seorang pejabat berkata dengan menggebrak mejanya saat marah.
Seorang istri menangis histeris saat marah. Tidak ada yang rasional, tidak ada
yang proposional, dan tidak ada yang normal saat orang tidak mampu menahan
marahnya.
Apalagi jika
kemarahan itu sudah bercampur aduk dengan dendam, sakit hati, dan perasaan
terhina. Kolaborasi penyakit hati ini bisa membuncah menjadi bola api besar
yang membakar apa saja yang ada di depannya. Pada mulanya hanya kata-kata
kotor, kasar, dan menyakitkan yang keluar dari mulutnya. Tak puas dengan
sekedar berkata-kata, ia lampiaskan kemarahannya dengan perbuatan dan tindakan.
Tak cukup dengan mencaci dan menghina, tangannya kini mulai bergemeretak, lalu
memukul, menendang, melempar, bahkan membunuh, na’uzubillah.
Tak salah jika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan orang yang kuat
adalah orang yang mampu menahan kemarahannya. Untuk menahan nafsu marah,
dibutuhkan tentara yang perkasa, lebih perkasa dari tentara yang terlatih dan
terbiasa dengan membiarkan kemarahannya.